Om Swastyastu
Yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati bhārata,
abhyutthānam adharmasya tadātmānaṁ sṛjāmy aham” - Kapanpun dan di
manapun pelaksanaan Dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan Dharmam
merajalela, pada waktu itulāh Aku Sendiri menjelma, wahai putra
keluarga Bhārata) Bhagavadgītā 4.7.
Pendahuluan
Setiap 210 hari sekali berdasarkan penanggalan
Bali-Jawa (Javano-Balinese Calender) yakni pada hari Budha Kliwon Wuku
Dungulan Umat Hindu di Indonesia merayakan Hari Raya Galungan dan
sepuluh hari kemudian akan disusul dengan perayaan Kuningan. Galungan
adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spritual agar mampu
membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari Adharma dan mana dari
Budhi Atma yaitu : Suara Kebenaran (Dharma) dalam diri manusia.
Disamping itu juga berarti kemampuan untuk membedakan kecendrungan
keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad)
karena hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki
kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan. Dalam lontar
Sunarigama dijelaskan rincian upacara Hari Raya Galungan sebagai berikut
: "Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani
supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala
kekacuan pikiran" Jadi inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani
agar mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani
dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala
kekacuan pikiran (byaparaning idep) adalah wujud Adharma.
Rangkaian PerayaanHari Raya Galungan dan
Kuningan di India dikenal dengan berbagai nama, di antaranya adalah
Śraddhā Vijaya Daśami, Durgāpūjā atau Mahanavami. Berdasarkan data
prasasti yang ditemukan di Bali, yakni Turuñan Prasasti yang berasal
dari tahun 813 Śaka (891 M) yang menyebutkan haywahaywan di māgha
mahānavamī (Goris, 1954: 56). Dalam bahasa Bali dewasa ini kata
mahaywahaywa (dari kata mahayu-hayu) berarti merayakan. Haywahaywan di
māgha mahānavamī berarti perayaan Māgha Mahānavamī. Di India Mahānavami
identik dengan Dasara yakni hari pemujaan ditujukan kepada para leluhur
(Dubois, 1981:569). Swami Śivānanda (1991:8) mengidentikkan Dasara
dengan Dūrgāpūjā yang dirayakan dua kali setahun, yakni Rāmanavarātrī
atau Rāmanavamī pada bulan Caitra (April-Mei), dan Dūrgānavarātrī atau
Dūrgānavamī pada bulan Asuji (September-Oktober) . Perayaan ini disebut
juga Vijaya Daśami atau Śrāddha Vijaya Daśami yang dirayakan selama
sepuluh hari, seperti halnya Hari Raya Galungan dan Kuningan di
Indonesia. Hari Raya Galungan sudah dirayakan terlebih dahulu di tanah
Jawa, ini sesuai dengan lontar berbahasa Jawa Kuno yaitu : Kidung Panji
Amalat Rasmi. Di Bali Hari Raya Galungan untuk pertama kali dilaksanakan
pada Hari Purnama Kapat , Budha Kliwon Dungulan tahun Saka 804 atau
tahun 882 Masehi ini sesuai dengan lontar "Purana Bali Dwipa"
Rangkaian
perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan merupakan rangkaian perayaan
yang paling panjang di antara hari-hari raya Agama Hindu.
1.
Rangkaian itu dimulai ketika hari Tumpek Pengarah atau Pengatag, yang
jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga, tepatnya 25 hari sebelum Hari
Raya Galungan dan persembahan ditujukan kepada dewa Śaṅkara (nama lain
Dewa Śiva) sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan dengan mempersembahkan
sesajen pada pohon-pohon kayu yang menghasilkan buah, daun, dan bunga
yang akan digunakan pada Hari Raya Galungan
2. Sugihan Jawa
atau Sugihan Jaba yaitu; Sebuah kegiatan rohani dalam rangka menyucikan
bhuana agung (makrocosmos) yang jatuh pada hari Kamis Wage Sungsang.
Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan
Jaba artinya luar, dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan
Jawa merupakan "Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh"
(pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan
upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat
tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang
terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia
Maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.
3.
Sugihan Bali; Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada
dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri
sendiri sesuai dengan lontar sunarigama: "Kalinggania amrestista raga
tawulan" (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing
/mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan.
Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani
(Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani
adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh
ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan
kita.
4. Panyekeban – puasa I; Jatuh pada hari Minggu Pahing
Dungulan. Panyekeban artinya mengendalikan semua indrya dari pengaruh
negatif, karena hari ini Sangkala Tiga Wisesa turun ke dunia untuk
mengganggu dan menggoda kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari
Galungan. Dalam Lontar Sunarigama disebutkan : "Anyekung Jnana" artinya
mendiamkan pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga
disebutkan "Nirmalakena" (orang yang pikirannya yang selalu suci) tidak
akan dimasuki oleh Bhuta Galungan. Melihat pesan Panyekeban ini
mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa
sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam
kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran,
berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang
sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau
godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang atau tape untuk banten.
5.
Penyajaan – puasa II; Artinya hari ini umat mengadakan Tapa Samadhi
dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajan dalam lontar Sunarigama
disebutkan : "Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi" upacara ini
dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya,
manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana
benar dan salah. Bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.
6.
Penampahan – puasa III; Berasal dari kata tampah atau sembelih artinya ;
bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran melawan Adharma, atau
hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara pokok yakni
Mabyakala yaitu memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang
ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh
sebenarnya ada di dalam diri, bukan di luar termasuk sifat hewani
tersebut. Ini sesuai dengan lontar Sunarigama yaitu ; "Pamyakala kala
malaradan". Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur
melawan semua bentuk Ahamkara - kegelapan yang bercokol dalam diri.
Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan,
lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya
Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi
Bhuta itu sendiri
7. Galungan – lebar puasa; Hari kemenangan
dharma terhadap adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama
perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa
mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau
jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang
berwiweka.
8. Manis Galungan; Setelah merayakan kemenangan ,
manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi
sanak saudara dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan
ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi hari
iniumat Hindu wajib mewartakan-menyampa ikan pesan dharma kepada semua
manusia inilah misi umat Hindu: Dharma Cara- menyampaikan ajaran
kebenaran dengan Satyam Vada – mengatakan dengan kesungguhan daan
kejujuran.
9. Pemaridan Guru; Jatuh pada hari Sabtu Pon
Dungulan, maknyanya pada hari ini dilambangkan dewata kembali ke sorga
dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur
panjang dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Demikian
makna Hari Raya Galungan sebagai hari pendakian spritual dalam mencapai
kemenangan /wijaya dalam hidup ini ditinjau dari sudut pelaksanaan
upacara dan filosofisnya.
10. Sepuluh hari setelah Galungan
disebut Kuningan merupakan tonggak kembalinya para dewata dan roh suci
leluhur menuju kahyangan stana-nya masing-masing yang diyakini tempatnya
di svargaloka (alam sorga). Kuningan merupakan hari kasih sayang, yang
disimbulkan melalui berbagai pratika upakara seperti: tamiang, koleman,
sulangi, tebo, dan endongan.
Makna PenjelmaanMenjelma
sebagai manusia menurut ajaran Hindu adalah kesempatan yang paling dan
sangat baik, karena hanya manusialah yang dapat menolong dirinya sendiri
dengan jalan berbuat baik. Untuk berbuat baik dan benar nampaknya
sangat sulit dilakukan oleh karena berbagai tantangan yang dihadapi oleh
setiap orang. Tantangan mulai ketika bayi lahir dari kandungan ibunya.
Demikian lahir langsung menangis karena ia berhadapan dengan kejamnya
alam, udara yang dingin atau kilauannya sinar matahari dan lain-lain.
Bayi akan tumbuh menjadi manusia dewasa bila ia mampu menghadapi
berbagai tantangan kehidupan.
Tantangan yang paling berat yang
dihadapi oleh umat manusia adalah tantangan yang datang dalam dirinya
sendiri, yakni sifat-sifat atau kecenderungan jahat yang merupakan
sifat-sifat keraksasaan, kebalikan dari Daivisampad yang disebut
Asurisampad (sifat-sifat Asura atau raksasa). Pertarungan antara
sifat-sifat kedewataan dengan keraksasaaan inilah yang terus berlangsung
dalam diri umat manusia yang sering mengejawantah dalam sikap dan
prilaku sehari-hari. Pertarungan ini berlangsung terus tiada hentinya.
Siapa yang berhasil memenangkan pertarungan dengan berpihak pada
kebajikan atau (Dharma) ialah yang sesungguhnya berhasil menegakkan
Dharma. Hanya dengan berpihak kepada Dharma seseorang akan memperoleh
keselamatan, kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Kemenangan
pada kebajikan atau Dharma inilah diperingati melalui perayaan Galungan
dan Kuningan, yang di India dikenal sebagai kejayaan Durga berhadapan
dengan raksasa Raktawijaya, atau kemenangan Sri Rama berhadapan dengan
raksasa Rawana yang dirayakan dalam upācara Durgapuja atau Dipawali yang
sejenis dengan perayaan Galungan dan Kuningan di Indonesia. Pertarungan
yang berlangsung sepanjang sejarah manusia itu, diamanatkan supaya umat
manusia senantiasa berpihak dan perpegang kepada Dharma sebagai
diamanatkan dalam terjemahan sloka Māhanārayana Upaniad XXII.1, berikut:
“Dharmo
viśvasya jagataḥ pratiṣṭhā, loke dharmiṣṭhaṁ prajā upasarpanti,
Dharmeṇa pāpam apanudanti dharme sarvaṁ, pratiṣṭhaṁ tasmad dharmaṁ
paramaṁ vadanti” - “Dharma adalah prinsip dasar dari segala sesuatu yang
bergerak dan yang tidak bergerak di alam semesta ini.Seluruh dunia dan
segenap umat manusia hendaknya selalu bergairah mengikuti ajaran Dharma.
Yang mengikuti ajaran Dharma terbebas dari segala dosa. Segala
sesuatunya akan berjalan mantap bila di jalan Dharma. Untuk itu patutlah
Dharma itu disebut ajaran yang tertinggi”
Demikian pula di dalam
Manavadharmaśāstra VIII.15 dinyatakan: Dharma Raksati Dharma Raksitah
yang artinya mereka yang selalu melaksanakan Dharma, dilindungi oleh
Dharma. Adpun terjemahan lengkapnya adalah sebagai berikut.
“Dharma
eva hato hanti dharmo rakṣati rakṣitaḥ, tasmād dharmo na hantavyo mābo
dharmo hato’vadhīt” - “Dharma yang dilanggar menghancurkan pelanggarnya.
Dharma yang dilaksanakan melindungi pelaksananya, oleh karena itu
janganlah melanggar Dharma, sebab bagi yang melanggar Dharma akan
menghancurkan dirinya sendiri”
Memenangkan DharmaBagaimana
kita dapat memenangkan Dharma dalam era globalisasi? Globalisasi adalah
proses atau trend kemajuan dunia melalui Ilmu Pengetatuhan dan
Teknologi dengan ditandai oleh derasnya arus informasi, terutama dari
masyarakat maju menuju masyarakat yang sedang berkembang. Dalam era
globalisasi ini seakan-akan tidak ada batas-batas antar negara atau
bangsa-bangsa (Boderless nations and states) di dunia ini. Kita maklumi
bersama bahwa Globalisasi tidaklah selalu berpangaruh dan berdampak
negatif, banyak hal-hal positif yang dapat dipetik dalam era globalisasi
ini, namun demikian pengaruh dan dampak negatifnya nampaknya cenderung
lebih deras terutama menyangkut segi-segi moral, etika dan spiritual
yang bersumber pada nilai-nilai agama dan budaya bangsa.
Dalam Hindu,
dinyatakan bahwa bila orientasi manusia hanya material dan kesenangan
belaka, maka orang itu dinyatakan hanya memuaskan Kama (nafsu duniawi).
Kama manusia tidak akan pernah merasa puas, walaupun usaha memuaskan itu
dilakukan terus-menerus dengan berbagai pengorbanan. Memuaskan Kama
dinyatakan sebagai menyiram api yang berkobar besar, tidak dengan air,
melainkan dengan minyak tanah, maka api tersebut akan menghancurkan
hidup manusia.Di dalam kitab suci Bhagavadgītā dinyatakan bahwa Kama, di
samping juga Lobha dan Krodha adalah tiga pintu gerbang yang
mengantarkan Atma (roh) menuju jurang neraka dan kehancuran. Untuk itu,
Tuhan Yang Maha Esa mengajarkan agar umat manusia memilki kesadaran yang
tinggi untuk menghindarkan diri dari ketiga belenggu tersebut.
Bagaimana
caranya kita dapat menghindarkan diri tiga pintu gerbang neraf berupa
Kama, Lobha dan Krodha yang merupakan perwujudan dari perbuatan atau
perilaku Adharma ? Jawabannya adalah sederhana, yaitu kita mesti kembali
kepada ajaran agama. Peganglah ajaran agama sebaik-baiknya. Biasakanlah
berbuat baik dan benar atau berdasarkan Dharma, yang di dalam kitab
Taittiriya Upanisad I.1.11: Satyam vada Dharmacara svadhyaya ma pramadah
- Berbicaralah jujur/benar, ikutilah ajaran Dharma, kembangkan keingan
belajar dan memuja Tuhan Yang Maha Esa dan janganlah lalai/sampai lupa.
Memang
bila kita berbicara atau hanya membaca ajaran agama, nampaknya segala
sesuatunya gampang dilaksanakan, namun dalam prakteknya sungguh berat.
Untuk itu hendaknya ada tekad atau pemaksanaan untuk berbuat baik.
Pemaksaan diri untuk selalu berbuat baik disebut Pratipaksa. Untuk
kebaikan, paksakanlah, lakukankan, korbankanlah, tekunilah dan doronglah
supaya perbuatan benar dan baik itu menjadi identitas kehidupan ini.
Identitas atau integritas seseorang dapat dilihat dari kualitas pikiran,
ucapan dan tingkah laku seseorang. Untuk selalu dapat berbuat baik,
maka diajarkan bahwa setiap orang hendaknya melakukan 4 hal, yaitu:
1) Abhyasa yang artinya untuk perbuatan baik lakukanlah dan biasakanlah hal itu.
2) Tyāga atau Vairagya yang artinya kendalikanlah atau tinggalkanlah perbuatan-perbuatan yang menjerumuskan hidup kita.
3)
Santosa yang artinya beryukurlah terhadap karunia Tuhan Yang Maha Esa,
memberikan kita kesempatan menjelma sebagai manusia untuk biasa
memperbaiki diri dan kesadaran untuk meningkatkan kualitas hidup dan
kehidupan kita untuk mencapai Jagadhita (kesejahtraan jasmaniah) dan
Moksa (kebahagiaan sejati).
4) Sthitaprajna yang artinya hidup
berkeseimbangan lahir dan batin, tidak terlalu bergembira bila
memperoleh keberuntungan dan tidak putus asa bila menghadapi kemalangan
atau kedukaan.
Aktualisasi Makna Hari RayaHari-hari
raya keagamaan akan berlalu begitu saja bila kita tidak menyingkapi
makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam hari-hari raya itu.
Selanjutnya dengan pemahaman terhadap makna atau nilai-nilai itu,
seseorang hendaknya dapat mengamalkan atau melaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari. Galungan dan Kuningan adalah hari kemenangan dan kesadaran
terhadap ajaran Dharma. Hanya dengan Dharma umat manusia akan selamat di
dunia ini. Bagaimana mengaktulisasikan ajaran Dharma ini ? Secara
sederhana adalah dengan merealisasikan 7 macam perbuatan yang disebut
Dharma seperti disebutkan dalam kitab Vrhaspatitattva, yaitu:
1) Sila, yakni senantiasa berbuat baik dan benar.
2)
Yajña, yakni ikhlas berkorban. Yajna tidaklah hanya terbatas pada
pengertian upakara dan upācara saja, melainkan mengembangkan kasih
sayang dan keikhlasan.
3) Tapa, pengekangan dan pengendalian diri.
4)
Dana, memberikan pertolongan atau bantuan kepada yang miskin dan yang
memerlukan bantuan. Dalam Hindu dinyatakan menolong orang-orang miskin
disebutkan sebagai menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang ber-abhiseka
(disebut dengan nama) Daridra Narayana.
5) Prawrijya, mengembara menambah ilmu pengetahuan atau kerohanian (spiritual).
6) Diksa, penyucian diri dan
7) Yoga, senantiasa menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.
PenutupDengan
melaksanakan butir-butir perbuatan tersebut di atas sesungguhnya kita
sudah dapat mengamalkan ajaran agama. Aktualisasi dari ajaran ini
dikaitkan dengan masalah-masalah kekinian, misalnya dengan meningkatkan
solidaritas sosial (kesetiakawanan sosial), membantu program pemerintah
mengentaskan kemiskinan, mengembangkan moralitas dan mentalitas yang
baik dan positif serta senantiasa aktif membangun masyarakat lingkungan
di sekitar kita.